Chelios merasakan panas pada pipi kirinya. Dia melihat paras seorang wanita cantik di hadapannya yang memandang marah. Alis wanita itu berkerut tajam sementara giginya terkatup rapat di balik bibir sensual bergincu merah. Seakan belum puas, wanita itu mengambil sisa cocktail dan menyiramkan dengan kasar ke arah wajah Chelios. Dia sekali lagi memandang Chelios sebelum mengambil tas tangannya dan angkat kaki dari sana, meninggalkan Chelios sendirian di antara keramaian pesta. Pria itu dengan santai mengambil sehelai sapu tangan dari saku celana dan mengelap wajahnya. Tidak ada yang berubah pada keributan di club malam itu, suara musik disko yang ebrdentum kencang menyamarkan segala aktifitas yang terjadi. Hanya dua pasang pria dan wanita yang menyadari hal tersebut. Mereka pun segera memalingkan muka seakan tidak ada yang terjadi.
"Bad luck, hah?" Tanya seorang pria membuat Chelios menoleh ke arahnya.
"Yeah." Balas Pria berambut panjang itu pada bartender yang membereskan gelas cocktail kosong.
"You really messed up this time, Chel." Lanjut si bartender sambil nyengir lebar. "What happened?"
"Nah, bukan apa-apa, Vad." Balas Chelios seraya merapikan rambutnya yang basah sebelum dia duduk terdiam.
Plak!
Sebuah tamparan lain mendarat di pipi Chelios membuat pria itu terdiam. Dia memandang sang penampar dengan tatapan terkejut. Entah bagaimana dia telah tersudut di tembok.
"Tenangkan dirimu." Suara serak yang berasal dari seorang pemuda dengan rambut panjang sepunggung berwarna coklat dan bermata biru pucat membuat kesadaran Chelios pulih. Pemuda itu menahan leher Chelios dengan lengannya agar pria itu tidak memberontak. "Dengan keadaanmu yang sekarang kamu hanya akan mengacaukan misi."
Chelios terdiam, napasnya memburu. Dia memandangi sekeliling, kursi yang terjungkal, vas pecah dan kacamata rekannya yang tergeletak tiga meter dari mereka. Dia ingat, semua adalah akibat dari perbuatannya. Beberapa detik lalu dia mengamuk dan hendak mengejar tersangka kasus pembunuhan yang menyamar menjadi saksi. Chelios murka karena pembunuh itu memanfaatkan dirinya dan lebih murka lagi kepada dirinya yang lengah. Darah Chelios kembali menggelegak ketika dia mengingat kejadian tersebut tapi tatapan tajam rekannya membuat dia menahan diri. Dia mengambil napas panjang dan perlahan rekannya melonggarkan lengannya.
"Aku baik-baik saja." Ucap Chelios seraya mendorong pemuda itu.
Ketika yakin bahwa Chelios sudah tenang baru dia berjalan menuju kacamatanya dan memakainya.
"Chris, aktifkan GPS yang sudah kutanam pada tersangka." Ucap pemuda itu datar, terkendali seakan tidak terjadi apapun sebelumnya. "Selanjutnya aku serahkan padamu, Rheona."
Chelios memandang rekannya dengan tatapan kesal, pemuda itu baru saja menamparnya.... Dua hari lalu, Robert tiba-tiba memberinya seorang partner, yang sifatnya seratus delapan puluh derajat berbeda. Situasi kerja mereka lebih bisa disebut perang dingin daripada bekerja sama. Dia masih ingat percakapan terakhirnya dengan Robert.
"Kamu membutuhkan partner." Ulang Robert walaupun Chelios menunjukkan wajah tidak setuju.
"Aku bisa melakukannya sendiri." Tegas Chelios kesal karena merasa diremehkan.
"Tidak. Kamu akan berakhir mengencani saksi." Jawab Robert tepat sasaran. "Dia akan memastikanmu tidak keluar dari jalur."
"Dan dia seorang pria." Gerutu Chelios. "Kau tahu sendiri bagaimana pengalamanku dengan partner pria. Kami berakhir menodongkan senjata satu sama lain atau dia menjadi seperti aku." Tambahnya dengan sebuah senyum mengejek.
Robert hanya memandangnya dengan sudut mata, tidak menanggapinya. Chelios makin kesal, dia tidak bisa mengubah keputusan bossnya yang satu ini. Pria tampan itu berdiri dengan kasar dan keluar.
Saat ini Chelios harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Robert benar. Rekannya terbukti menyelamatkannya dari mengagalkan kasus ini. Tanpa dia, tersangka pasti sudah mengelabuinya dan mungkin sudah membunuhnya sekarang. Mengingat wanita jalang itu membuat Chelios kembali kesal, dia menghantamkan tinjunya ke tanah. Denyutan rasa sakit menjalari syarafnya, meredakan amarahnya.
"Tenangkan dirimu, Chelios." Ucap pemuda itu datar. "Tidak ada gunanya menyesali hal tersebut sekarang."
Pemuda itu mengambil kursi dan duduk di atasnya. "Tugas kita sudah selesai, selanjutnya Tim A yang akan mengatasinya."
Chelios memandang rekannya dengan tatapan tajam, namun ekspresi pemuda itu tersembunyi dibalik kacamata hitamnya. Chelios mendengus kesal, namun kali ini dia harus mengakuinya....
"Terima kasih." Ucapnya canggung.
"Untuk apa?" Tanya rekannya.
"Karena sudah menolongku." Lanjut Chelios membuang muka. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermalukan lebih lagi.
"Bukan masalah." Jawab penuda itu datar. "Itulah tugas seorang partner."
Chelios tersentak kaget, dia memandangi pemuda dihadapannya, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kacamata hitam itu namun ekspresinya tetap tak terbaca. Ini pertama kalinya ada orang yang mengatakan hal itu padanya. Sebuah senyum tipis terlukis di wajah Chelios. Sepertinya kali ini, kerjasama mereka akan berjalan lancar. Mungkin memiliki partner tidak seburuk yang ia duga selama ini.
"Lebih baik kita segera kembali ke markas. Aku ingin segera menyelesaikan laporan, malam ini aku ada janji." Lanjut Chelios seraya berdiri. "Bagaimana kalau kamu juga ikut? Akan kukenalkan dengan seorang wanita cantik."
"Aku tidak tertarik." Balas rekannya mengikuti Chelios menuju pintu.
"Hah! Tidak ada pria yang tidak suka wanita cantik!" Sergah Chelios tersenyum mengejek.
"Kamu tidak membaca fileku?" Rekannya memandang Chelios dengan alis berkerut. "Namaku Terra, dan aku seorang perempuan."
Chelios langsung berhenti dan memandang rekannya dengan tatapan tidak percaya.
*
"Lalu, apa yang terjadi?" Tanya Vad sambil mengelap gelas cocktail.
Chelios menyunggingkan sebuah senyum terpaksa. "Tidak ada. Aku mengantarkannya ke kantor lalu kemari. Tapi Vad, kamu lebih dari tahu rekorku dengan wanita. They will end up sleep with me."
"Except that last one." Balas Vad menyindir. "So, what's the problem?"
"For the first time, I don't want to lose a partner...." Ucap Chelios tersenyum lebar namun terserat kesepian di baliknya.
Vad menghela napas dan meletakkan gelas cocktail di meja, menuangkan Tequila. "Let's hope not...."
Chelios menegak minuman itu sementara seorang wanita menghampiri dan menyapanya. Chelios memberikan sebuah senyum termanisnya dan menolak wanita itu.
"What's happen with you?" Tanya Vad heran.
"I'm not in the mood." Chelios meletakkan gelas cocktailnya dan berjalan menuju pintu keluar.
_________________________________________________________
Sepertinya akan menjadi kerja sama yang seru :D hahahahah~ Justru orang-orang yang paling bertolak belakang dengan kita adalah orang yang paling mengubah kehidupan kita, ke arah yang lebih baik atau lebih buruk itu tetap pilihan kita. Apakah kita berusaha untuk semakin baik mengerti mereka atau justru sebaliknya, kita memilih untuk bermusuhan dengan mereka? Itulah hidup kawan :)
Sebenarnya ini bukan ide yang ada dari awal tapi sepertinya menyenangkan untuk memasangkan Terra yang serius dengan Chelios yang easy going namun punya complex yang rumit. Ini adalah awal kerja sama mereka, well, aku pribadi masih belum puas dengan penggalian karakter Chelios disini. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan tentang tokoh yang satu ini :) heheheh~
And yes, Terra is looks like a boy, badannya sangat kurus karena terapinya, jadi dia memakai baju longgar untuk menutupinya. Pita suaranya juga mengalami kerusakan, sehingga suaranya agak parau. Well, the drug really damaged her.... It's only by her will, she can do her job.
Omong-omong, aku batal *lagi* membuat S.U.R.F menjadi sebuah cerita utuh.... Still struggling with time management.... orz.... Well, i hope you enjoy this story :)
Robert - Rheona - Arthur - Harold - Chris - Chelios - Derick - Terra - Hardy - Judith
For more stories about S.U.R.F series click
here.