Rabu, 16 Januari 2013

[Short Story] Last Moment

Hari itu terasa berat. Arthur berjalan gontai sambil membuka jas dan membawanya. Keresahan turun seperti mendung di langit kota. Kesedihan menggelayuti. Damai lenyap dari hidupnya. Arthur melangkahkan kakinya ke tempat dimana dia selalu dapat terpuruk. Ada rasa enggan namun setiap kali kakinya membawanya melangkah ke sana.

Dihadapannya berdiri sebuah pintu putih, satu-satunya penghubung ke dunianya. Arthur membuka pintu itu dan....

"Arthur?" Ucap gadis itu heran.

Arthur masih mengedipkan matanya dengan tidak percaya.

"Ada apa? Wajahmu seperti melihat hantu." Tambahnya dengan sebuah senyum tipis di wajahnya.

Dia tertegun di depan pintu memandangi Terra duduk di atas tempat tidurnya. Gadis itu tampak lebih sehat daripada biasanya. Wajahnya tidak sepucat tembok bahkan terdapat sebuah rona merah di pipinya yang cekung.

"Ba-bagaimana kamu ada di sini?" Tanya Arthur terbata, dia mendatangi Terra dengan mata terbelalak lebar.

Terra memandangnya dengan alis berkerut, "Arthur, kamu tidak apa-apa? Ini ruanganku selama lebih dari lima tahun...."


Arthur menyentuh wajah Terra dan dia merasakan bahwa gadis itu nyata, membuatnya semakin tidak mempercayai apa yang terjadi. Ketika dia melihat sekitar gadis itu, baru dia menyadari sesuatu yang lain.

"Mana infus dan selang obatmu?" Tanya Arthur setengah panik. "Aku harus segera memasangnya sebelum kamu kolaps lagi."

"Arthur." Panggil Terra semakin heran, menahan tangan Arthur agar pria itu tidak kemana-mana sekaligus menenangkannya. "Ada apa denganmu? Bukankah kamu sendiri yang melepaskan semua selang itu kemarin?"

Arthur terdiam. Dia memandang Terra tetap dengan tatapan tidak percaya, senang namun tersirat kesedihan di matanya.

"Tenangkan dirimu." Ucap Terra datar seperti biasanya. "Kau baik-baik saja?"

Arthur tidak langsung menjawab. Dia terus menatap Terra, kali ini terlihat rasa rindu yang amat sangat pada gadis di hadapannya itu. Dia menyentuh wajah Terra dengan tangan gemetar.

"Ini benar-benar dirimu, Terra." Ucapnya dengan emosional, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak menyangka masih dapat bertemu denganmu...."

"Kau benar-benar aneh hari ini, Arthur." Ucap Terra seraya turun dari tempat tidur membuat Arthur terlonjak kaget.

"Jangan turun, ingat keadaan tubuhmu!" Seru dokter itu spontan.

"Tenanglah, hari ini aku merasa sangat sehat." Balas Terra dengan seulas senyum tipis. "Bagaimana kalau kita ke taman kota? Temani aku menghirup udara segar."

Arthur bimbang namun dia begitu ingin membahagiakan gadis itu. Satu kali saja.

"Baiklah." Ucap Arthur seraya tersenyum lembut. "Tapi izinkan aku memeriksa tanda vitalmu untuk memastikan keadaan."

Terra mengangguk santai dan Arthur segera mengambil stetoskopnya. Pria itu merasa aneh, udara sekeliling Terra terasa ringan, seakan seluruh beban di pundak gadis itu terangkat entah kemana. Tidak satu kalipun dia menyinggung tentang kasus kejahatan. Arthur tidak berkomentar lebih lanjut, dia menyukai Terra yang sekarang. Terra tanpa S.U.R.F, tanpa kewajiban seorang polisi, hanya seorang gadis biasa.

Dalam diam, Arthur memeriksa denyut nadi dan tekanan darah Terra. Semuanya normal, sebuah hal yang sangat langka. Tidak ada alasan bagi Arthur untuk melarangnya keluar, lagipula ada hal yang ingin dia bicarakan dengan Terra, hal yang lebih baik dikatakan di luar sana.

"Semuanya baik." Ucap Arthur seraya melepas stetoskop dan meletakkannya di meja kecil. "Ayo."

Terra mengikuti Arthur berjalan keluar pintu. Lima belas menit berjalan kaki, mereka telah tiba di sebuah taman kecil yang rindang dengan hamparan rumput dan beberapa kursi taman. Mereka memutuskan berjalan pelan mengelilingi taman bermain yang berada di tengah taman. Teriakan dan tawa anak-anak memenuhi udara memberikan suasana riang.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Arthur basa-basi.

"Baik. Harusnya kita lebih sering melakukan ini." Jawab Terra seraya memandang angkasa.

Arthur memandangi Terra dan mendapati mereka saling memandang. Terra kembali tersenyum tipis lalu mereka kembali berjalan dalam diam. Keheningan turun di antara mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata seperti yang biasa mereka lakukan. Tidak ada sentuhan fisik namun keberadaan mereka satu sama lain terasa lebih dari cukup. Betapa Arthur merindukan saat-saat ini....

Dua puluh menit kemudian, mereka duduk di kursi taman sambil memandangi keramaian taman. Tidak ada kekerasan, tidak ada sirene polisi, hari yang sempurna.

"Terra..." panggil Arthur memecah keheningan di antara mereka. "aku...minta maaf...."

Terra memandangi Arthur, "Untuk apa?"

"Untuk segala hal yang telah kulakukan." Jawab Arthur membalas pandangan Terra, kepedihan terlukis jelas di matanya. "Akulah yang menyebabkanmu seperti sekarang...aku yang menyebabkanmu meninggal...."

Terra tidak menjawab apapun, dia hanya diam memandang Arthur dengan tenang. Keteduhan terpancar dari matanya.

"Maafkan aku...." Ucap Arthur putus asa. "Seandainya aku tidak melakukan tindakan bodoh itu...kamu tidak akan perlu membahayakan dirimu hanya untuk membawaku kembali.... Kamu..." Arthur tercekat, kata-kata itu menggumpal di kerongkongan, sebuah keinginan yang tak terpenuhi, "...masih tetap hidup...."

Dia kembali memandang Terra, mengharapkan gadis itu berkata sesuatu, melakukan sesuatu, memakinya, menamparnya, apapun tapi Terra tetap diam, hanya sebuah senyum tulus melingkar di bibirnya. Arthur tersentak, sebuah belati es menghujam hatinya, dia tahu, bukan Terra yang tidak memaafkan dirinya, namun Arthurlah yang masih tidak dapat mengampuni hatinya sendiri.... Arthur tidak bisa memafkan dirinya yang membuat Terra meninggal....

Terra menggenggam tangan Arthur dengan lembut, membuat pria itu kembali memandangi gadis dihadapannya. Sebuah sentuhan hangat yang melelehkan es di hati pria itu.

"Aku tidak pernah menyesal akan apapun yang telah kulakukan." Ucap Terra pelan. "Aku sama sekali tidak keberatan mengorbankan nyawaku untuk sahabatku. Jangan menanggungkan beban yang lebih berat pada dirimu...."

Arthur memandangi Terra...dan sebuah air mata mengalir hangat menuruni pipinya. Air mata pengampunan. Hatinya lega namun sebuah rasa sakit lain memeluknya. Rasa sakit yang membentang lebih luas dari samudra apapun.

"Betapa aku merindukanmu, Terra...."

Terra melebarkan senyumnya seakan berkata hal yang sama. Gadis itu menempelkan dahinya pada dahi Arthur. Pria itu menutup mata dan meresapi sentuhan hangat itu yang perlahan-lahan turun ke dalam hatinya....

Arthur membuka mata dan mendapati dirinya berada di kamar Terra. Rupanya dia tertidur dengan bersandar pada ranjang. Dia menegakkan badannya dan melihat sekelilingnya. Ruangan itu kosong dan dingin. Tidak ada mesin-mesin penunjang hidup yang biasa dipakai Terra, tidak ada barang-barang milik gadis itu. Semuanya sudah dibereskan, kemarin. Arthur memandangi tempat tidur putih kosong dengan sebuah vas bunga di tengahnya sebagai pengingat akan pemiliknya. Bayangan Terra yang tertidur di sana terasa begitu nyata. Kemanapun dia melayangkan pandangannya, dia dapat melihat bayangan gadis itu. Kematiannya telah meninggalkan rasa kehilangan seluas angkasa, tidak ada satupun yang luput dari naungannya.

Arthur berdiri dan berjalan menuju pintu dengan enggan....


End
_______________________________________________

Cuaca akhir-akhir ini buat aku mellow.... *sigh*

Cintai orang-orang disekitarmu dengan segenap hatimu, lakukan yang terbaik bagi mereka selama kau bisa, karena akan ada saatnya, kau hanya bisa merindukan dan berharap bisa melakukan sesuatu bagi mereka.

Bukan ending resmi dari S.U.R.F, hanya kerjaan iseng supaya ga melow lagi.

Click here to read another story of S.U.R.F.


Robert - Rheona - Arthur - Harold - Chris - Chelios - Derick - Terra - Hardy - Judith


Her absence is like the sky, spread over everything.
~ C.S. Lewis

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© Everything But Ordinary, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena