Kamis, 09 Februari 2012

[Short Story] The Card

Pria itu terdiam, berkali-kali dia meraih gagang pintu hanya untuk menahan jarinya menggenggam besi dingin itu. Dia menelan ludahnya sekali lagi, berharap ada sebuah keberanian untuk melangkah tapi yang didapatinya hanya tenggorokannya yang makin kering. Dia menyisir rambutnya yang putih kebelakang dengan jarinya sambil berusaha sekali lagi mengumpulkan keberaniannya, tapi nihil, dirinya tetap tertahan di depan pintu kamar berwarna putih itu tanpa bisa melangkah masuk. Bunga Krisan Putih ditangannya sudah sedikit layu karena semenjak tadi diremasnya, plastiknya sudah berkerut mengikuti alur genggamannya.

"Mengapa sesulit ini?!" Gerutu Robert dalam hati.


Dia tak pernah melakukan hal ini sebelumnya, seumur hidupnya, itu berarti sudah lebih setengah abad. Hanya karena seorang anak muda mendorongnya melakukan hal ini di hari yang disebut-sebut hari kasih sayang, Robert akhirnya mencobanya. Berkali-kali dia hendak lari dari sana tapi bahkan kakinya pun tidak mau menuruti perintah pikirannya. Robert menarik satu tarikan napas lalu dengan menepis semua keraguannya, dia membuka pintu putih itu.

Hawa dingin langsung menyeruak menerpa dirinya dan dia mendapat dirinya berdiri di hadapan seorang gadis muda yang tertidur. Yang membuat hati Robert hancur adalah puluhan selang yang tertancap di seluruh tubuh gadis itu. Belum lagi alat-alat yang berbunyi aneh mengelilinginya hampir menutupi pandangan orang akan gadis itu. Robert dengan susah payah berjalan mendekatinya sambil berhati-hati untuk tidak menyentuh atau tersandung setiap kabel yang menjulur. Entah apa yang terjadi kalau salah satu dari kabel tersebut putus, Robert tidak berani membayangkannya.

Ketika Robert berada cukup dekat dengannya, dia dapat melihat tulang pipi gadis itu yang mencuat, mata tertutup yang cekung dan hitam, bibir yang pucat, kulit yang seputih kertas dan rambut coklat yang berantakan. Tidak ada kecantikan dan kemudaan yang dia miliki sebagai seorang gadis pada umumnya. Dengan perasaan berkecamuk yang tetap berusaha di tahan di dadanya, Robert meletakkan seikat bunga itu di meja kecil di samping tempat tidurnya, meja yang dipenuhi oleh obat-obat tambahan yang harus diminum gadis itu. Dengan tangan bergetar, Robert menyentuh wajah anak tunggalnya.... Dingin, bila bunyi alat deteksi jantung tidak berbunyi, Robert pasti mengira dia sudah meninggal.

Pikirannya melayang ke sepuluh tahun silam, saat Terra masih berumur enam tahun, yang diselamatkannya dari api. Jiwa gadis cilik itu rusak oleh trauma kehilangan kedua orang tuanya. Robert pula yang menyaksikan gadis itu bangkit dan menjadi kuat dengan sebuah tujuan mulia, mencegah sebanyak mungkin orang mengalami apa yang dia alami, sebuah alasan yang membuatnya masuk kepolisian dan mengizinkan dirinya mengalami begitu banyak luka sampai harus terbaring di tempat tidur hampir seumur hidupnya.

Robert memandang Terra, "Aku berharap akulah yang menggantikanmu, anakku...."

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Robert. Seorang pria berumur tiga puluhan masuk dan terkejut memandangi Robert.

"Robert?"

"Oh, maaf aku masuk tanpa pemberitahuan." Ucap Robert sambil berdiri kikuk, tidak menyadari bahwa dirinya akan kepergok saat sedang melankolis.

"Tidak apa-apa." Balas Arthur, dokter yang menjaga Terra sambil membuka jas dokternya dan menggantungkannya pada belakang pintu. "Ada apa tiba-tiba datang?"

"Oh, tidak apa-apa, aku hanya mampir sebelum pulang. Menjenguk Terra. Aku akan kembali sekarang."

Arthur terkejut. "Cepat sekali, nikmati saja, jarang-jarang kamu mengunjungi Terra disini."

"Tidak apa-apa. Ada hal yang harus aku lakukan. Terima kasih sudah selalu menjaga Terra." Sahut Robert sambil sedikit tergesa-gesa menuju pintu, membukanya dan keluar, meninggalkan Arthur yang memandangnya dengan heran.

Robert tidak berhenti sampai dia tiba di rumahnya. Setelah menutup pintu, baru dia bisa bernapas. Sungguh bukan dirinya sampai bisa terbawa perasaan sampai seperti itu. Semua orang mengenalnya sebagai seorang yang keras, tegas dan berprinsip, hampir tidak berperasaan, membuatnya sanggup mengambil keputusan dengan kepala dingin di setap kondisi.

Robert membuka jasnya dan menggantungkannya pada kayu di samping pintu, baru saja dia hendak berjalan, matanya terantuk pada sepucuk surat yang tergeletak di tanah, sepertinya surat itu orang masukkan di lobang surat yang ada di pintu rumah. Naluri polisinya langsung siaga, dia membuka dengan hati-hati amplop berwarna putih itu dan mendapati sebuah kartu ucapan, kali itu, Robert tidak bisa lagi menahan perasaannya, sebutir air mata menetes dari matanya yang dipenuhi kerut usia.


Kepada orang yang kupanggil Ayah,


Terima kasih karena telah menghargai keputusanku walau itu bertentangan dengan keinginanmu untuk keselamatanku.


Saat Ayah melihatku bertugas di sampingmu, Ayah tetap menghargai jalan yang kuambil walau Ayah khawatir.


Ketika Ayah pulang dan tidak mendapati seorangpun menyambut Ayah di rumah, Ayah tidak mengeluh.


Kita tidak seperti keluarga pada umumnya, yang menghabiskan banyak waktu bersama di ruang keluarga tapi aku bangga menjadi anak Ayah yang menghabiskan banyak waktu bersama di jalanan, menghadapi kejahatan. Aku bangga berdiri di samping Ayah sebagai seorang anak dan sebagai seorang partner. 




Happy Valentine....
         Terra




Robert melipat kartu itu dan menyimpannya baik-baik sementara rasa hangat mengalir lembut di dadanya, menemaninya melewati malam itu....

*

"Selamat pagi, Boss."

"Pagi." Balas Robert singkat, "buka file kalian, kita menghadapi tugas untuk mengawal tamu Presiden yang diincar oleh teroris.... Rheona, kamu yang akan menjadi pemimpin operasi ini, Derick, cari titik-titik dimana para Sniper bisa mengincar dan amankan. Terra...."

Robert berhenti sejenak dan memandang seorang gadis berkaca mata hitam di hadapannya, Robert dapat melihat determinasi dimata gadis itu dibalik kacamata hitamnya.

"Terra, akan mengawal Sang Tamu...."


End

____________________________________________________
Rasanya cerita ini lebih cocok buat hari ayah dibandingkan Valentine.... Hahahah~ but well, enjoy aja, Spare some love for our parent okay? :D ini pertama kalinya aku menulis cerpen lagi sejak hampir setahun lalu :) ditunggu komentarnya hahahah~ 


Itu karakternya, Robert pertama dari kiri, Terra ketiga dari kanan, Arthur ketiga dari kiri :) cerita besar tentang mereka sudah lama menari di kepalaku, cuman masih belum punya waktu untuk direalisasikan =.= ahahha~ Sementara ini enjoy~ Gbu~

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© Everything But Ordinary, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena