Senin, 17 September 2012

[Short Story] Before the Dawn


Click to go to the source
Aku mengayunkan pedangku sekali lagi dengan berat. Terdengar jeritan tertahan dari prajurit yang kehilangan nyawanya ditanganku.
Seratus….
Kuayunkan pedangku lagi dan nyawa kembali melayang.
Seratus satu…Aku menghitung….
Seratus dua….
Semakin banyak aku menghitung, semakin berat aku merasakan pedang ditanganku membebani. Aku melihat sekelilingku…. Hampir saja aku mengumpat, mereka banyak sekali! Prajurit demi prajurit datang seakan tak pernah habis tapi staminaku justru makin menipis. Napasku memburu dan pandanganku mengabur. Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan…. Mungkin ini adalah saat terakhirku….
Ah…seandainya aku ikut mundur seperti yang lain…pasti nasibku akan berbeda…. Aku tidak pernah menyesal berdiri disini walaupun sendiri. Tekadku bulat, aku tidak akan membiarkan siapapun merebut tanah nenek moyangku bahkan jika itu berarti aku harus bertarung sampai mati. Aku menggenggam pedang di tanganku lebih erat, aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku mengayunkan pedangku sekali lagi, menembus tubuh lawan.
Seratus tiga….
Tiba-tiba, sebuah serangan datang dari arah belakang, aku berbalik tapi tak sempat berbalik untuk menangkisnya! Kurasa ini saatnya….
Terdengar besi saling beradu. Sebuah pedang menahan laju serangan itu mengenaiku. Mataku terbelalak ketika kulihat siapa pemiliknya. Perasaan lega langsung mengalir dan sebuah senyum terlukis diwajahku.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanyanya mengarahkan punggungnya ke punggungku, kami saling membelakangi mencegah musuh menyerang titik lemah kami. “Maaf, aku terlambat.”
“Tidak masalah.” Balasku. Semangatku kembali terpompa. Ohhh! Bersama orang ini aku sanggup mengatasi ratusan musuh lagi!
“Bagus!” Serunya. “Kita pertahankan tempat ini!”
Aku tersenyum lebar dan kembali mengayunkan pedangku dengan kekuatan baru. Aku hanya berpikir…bagaimana jadinya aku bila aku tidak bertemu dengan dia…. Ingatan demi ingatan melesat dalam benakku.
Seratus tiga puluh delapan….
Aku masih ingat ketika aku pertama kali bertemu dengannya di sebuah gua. Tatapan matanya yang tulus dan berani saat itu membuatku tertarik untuk mengikutinya. Tidak ada kebohongan dalam dirinya, membuatku yang sering dikecewakan orang merasa aman berada di dekatnya. Aku tak peduli bila ia buronan, dia adalah orang yang dapat diandalkan oleh siapapun.
Dua ratus lima puluh enam….
Waktu kami menghadapi seorang tuan tanah yang kejam, itu pertama kalinya aku melihatnya begitu marah. Dia marah karena kami dihina dan tak dibayar padahal kamilah yang menjaga seluruh kawanan ternak si tuan tanah. Kurasa dia marah bukan karena dirinya tak mendapat upah, tapi karena dia memikirkan wanita dan anak-anak kami yang tak jadi mendapat makanan. Waktu dia ingin membunuh tuan tanah itu, akulah yang maju paling depan untuk melakukannya. Hahaha~ Betapa mudahnya aku naik darah, untunglah istri orang itu menahan kami dan memberikan kami makanan. Dia tidak mempermasalahkan  lagi dan kembali pulang, sungguh seorang yang bijaksana.
Empat ratus tujuh puluh tiga….
Hmm, aku ingat, ketika dia menolak untuk membunuh bahkan ketika orang yang membuatnya menjadi buronan ada di depan matanya. Waktu itu aku tidak mengerti mengapa ia melakukannya tapi kemudian aku sadar bahwa itu adalah caranya menunjukkan penghormatan dan penundukan dirinya. Hal yang tak kumiliki saat itu….
Lima ratus enam puluh empat….
Aku tak ingin mengingat kebodohanku, tapi itulah yang kulakukan saat aku melihat kota tempat anak istriku rata dengan tanah. Putus asa, kecewa dan marah membuatku hampir melemparkan batu kepada dia yang telah begitu baik kepadaku. Betapa malunya diriku mengingat hal itu tapi justru saat itulah aku melihat betapa dia adalah orang yang sungguh-sungguh layak untuk diikuti. Dia tidak marah kepada kami tapi justru berseru kepada Allahnya dan kami mendapatkan kembali keluarga kami. Seandainya saat itu dia kehilangan ketenangannya…kami akan kehilangan segalanya.
Enam ratus tiga puluh delapan….
Sungguh aku berhutang segalanya pada dia…. Sejak peristiwa itu mataku semakin terbuka lebar dan akupun belajar untuk semakin mengasihinya. Jika dia benar-benar tulus mengasihiku yang sampah masyarakat, tidak ada alasan aku tidak mengasihinya dengan segala kualitas dalam dirinya. Ketika ia berkata ingin minum dari air sumur kota kelahirannya, tanpa pikir panjang aku langsung mencarinya walau harus menghadapi bahaya. Bersama kedua temanku, kami menembus barisan musuh dan tebak apa reaksinya ketika dia menerima air itu dari kami, dia justru mencurahkannya sebagai korban curahan bagi Tuhan! Saat itu aku tak dapat menahan air mataku. Itu hanya air biasa tapi dia menghargainya setara dengan darah! Dia memang layak menjadi raja!
Tujuh ratus dua puluh satu….
Seandainya aku tak pernah bertemu dia…. Seandainya dia tidak sabar menghadapiku…. Seandainya dia menyerah dan meninggalkanku…. Aku tidak akan pernah berdiri di tempat ini menjadi salah satu perwiranya. Selamanya aku adalah sampah masyarakat, terlilit hutang, penuh kebencian dan pecundang. Jika sekarang aku berdiri dengannya, akulah yang merasa terhormat dapat bertempur disisinya dan seumur hidupkupun aku akan mengikutinya….
Delapan ratus….
Musuh terakhir tumbang. Matahari sudah bergantung rendah di langit jingga. Aku tak lagi bisa merasakan tanganku. Kulihat dia sama lelahnya denganku, namun masih tetap memberikan sebuah senyum. Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku melepaskan pedang yang melekat ditanganku.
“Kamu melakukan tugas dengan sangat baik, Eleazar anak Dodo….”
“Sebuah kehormatan bagiku untuk bertempur bersama engkau, ya Rajaku….” Jawabku lemah sebelum semuanya menjadi gelap….

*

Ini kubuat untuk lomba cerpen di gereja, tapi sayang, tadi pengumuman dan aku kalah... orz.... Daripada terbuang percuma hahahah~ aku posting di sini :) hope you enjoy it!

Gbu~

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© Everything But Ordinary, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena