Click to go to the source |
Aku
mengayunkan pedangku sekali lagi dengan berat. Terdengar jeritan tertahan dari
prajurit yang kehilangan nyawanya ditanganku.
Seratus….
Kuayunkan
pedangku lagi dan nyawa kembali melayang.
Seratus
satu…Aku menghitung….
Seratus
dua….
Semakin
banyak aku menghitung, semakin berat aku merasakan pedang ditanganku membebani.
Aku melihat sekelilingku…. Hampir saja aku mengumpat, mereka banyak sekali!
Prajurit demi prajurit datang seakan tak pernah habis tapi staminaku justru
makin menipis. Napasku memburu dan pandanganku mengabur. Aku tak tahu berapa
lama lagi aku bisa bertahan…. Mungkin ini adalah saat terakhirku….
Ah…seandainya
aku ikut mundur seperti yang lain…pasti nasibku akan berbeda…. Aku tidak pernah
menyesal berdiri disini walaupun sendiri. Tekadku bulat, aku tidak akan
membiarkan siapapun merebut tanah nenek moyangku bahkan jika itu berarti aku
harus bertarung sampai mati. Aku menggenggam pedang di tanganku lebih erat, aku
tahu apa yang harus kulakukan.
Aku
mengayunkan pedangku sekali lagi, menembus tubuh lawan.
Seratus
tiga….
Tiba-tiba,
sebuah serangan datang dari arah belakang, aku berbalik tapi tak sempat
berbalik untuk menangkisnya! Kurasa ini saatnya….
Terdengar
besi saling beradu. Sebuah pedang menahan laju serangan itu mengenaiku. Mataku
terbelalak ketika kulihat siapa pemiliknya. Perasaan lega langsung mengalir dan
sebuah senyum terlukis diwajahku.
“Kamu
tidak apa-apa?” Tanyanya mengarahkan punggungnya ke punggungku, kami saling
membelakangi mencegah musuh menyerang titik lemah kami. “Maaf, aku terlambat.”
“Tidak
masalah.” Balasku. Semangatku kembali terpompa. Ohhh! Bersama orang ini aku
sanggup mengatasi ratusan musuh lagi!
“Bagus!”
Serunya. “Kita pertahankan tempat ini!”
Aku
tersenyum lebar dan kembali mengayunkan pedangku dengan kekuatan baru. Aku
hanya berpikir…bagaimana jadinya aku bila aku tidak bertemu dengan dia….
Ingatan demi ingatan melesat dalam benakku.
Seratus
tiga puluh delapan….
Aku
masih ingat ketika aku pertama kali bertemu dengannya di sebuah gua. Tatapan
matanya yang tulus dan berani saat itu membuatku tertarik untuk mengikutinya.
Tidak ada kebohongan dalam dirinya, membuatku yang sering dikecewakan orang
merasa aman berada di dekatnya. Aku tak peduli bila ia buronan, dia adalah
orang yang dapat diandalkan oleh siapapun.
Dua
ratus lima puluh enam….
Waktu
kami menghadapi seorang tuan tanah yang kejam, itu pertama kalinya aku
melihatnya begitu marah. Dia marah karena kami dihina dan tak dibayar padahal
kamilah yang menjaga seluruh kawanan ternak si tuan tanah. Kurasa dia marah
bukan karena dirinya tak mendapat upah, tapi karena dia memikirkan wanita dan
anak-anak kami yang tak jadi mendapat makanan. Waktu dia ingin membunuh tuan
tanah itu, akulah yang maju paling depan untuk melakukannya. Hahaha~ Betapa mudahnya
aku naik darah, untunglah istri orang itu menahan kami dan memberikan kami
makanan. Dia tidak mempermasalahkan lagi
dan kembali pulang, sungguh seorang yang bijaksana.
Empat
ratus tujuh puluh tiga….
Hmm,
aku ingat, ketika dia menolak untuk membunuh bahkan ketika orang yang
membuatnya menjadi buronan ada di depan matanya. Waktu itu aku tidak mengerti
mengapa ia melakukannya tapi kemudian aku sadar bahwa itu adalah caranya
menunjukkan penghormatan dan penundukan dirinya. Hal yang tak kumiliki saat
itu….
Lima
ratus enam puluh empat….
Aku
tak ingin mengingat kebodohanku, tapi itulah yang kulakukan saat aku melihat
kota tempat anak istriku rata dengan tanah. Putus asa, kecewa dan marah
membuatku hampir melemparkan batu kepada dia yang telah begitu baik kepadaku.
Betapa malunya diriku mengingat hal itu tapi justru saat itulah aku melihat
betapa dia adalah orang yang sungguh-sungguh layak untuk diikuti. Dia tidak
marah kepada kami tapi justru berseru kepada Allahnya dan kami mendapatkan
kembali keluarga kami. Seandainya saat itu dia kehilangan ketenangannya…kami
akan kehilangan segalanya.
Enam
ratus tiga puluh delapan….
Sungguh
aku berhutang segalanya pada dia…. Sejak peristiwa itu mataku semakin terbuka
lebar dan akupun belajar untuk semakin mengasihinya. Jika dia benar-benar tulus
mengasihiku yang sampah masyarakat, tidak ada alasan aku tidak mengasihinya
dengan segala kualitas dalam dirinya. Ketika ia berkata ingin minum dari air
sumur kota kelahirannya, tanpa pikir panjang aku langsung mencarinya walau
harus menghadapi bahaya. Bersama kedua temanku, kami menembus barisan musuh dan
tebak apa reaksinya ketika dia menerima air itu dari kami, dia justru
mencurahkannya sebagai korban curahan bagi Tuhan! Saat itu aku tak dapat
menahan air mataku. Itu hanya air biasa tapi dia menghargainya setara dengan
darah! Dia memang layak menjadi raja!
Tujuh
ratus dua puluh satu….
Seandainya
aku tak pernah bertemu dia…. Seandainya dia tidak sabar menghadapiku….
Seandainya dia menyerah dan meninggalkanku…. Aku tidak akan pernah berdiri di tempat
ini menjadi salah satu perwiranya. Selamanya aku adalah sampah masyarakat,
terlilit hutang, penuh kebencian dan pecundang. Jika sekarang aku berdiri
dengannya, akulah yang merasa terhormat dapat bertempur disisinya dan seumur
hidupkupun aku akan mengikutinya….
Delapan
ratus….
Musuh
terakhir tumbang. Matahari sudah bergantung rendah di langit jingga. Aku tak
lagi bisa merasakan tanganku. Kulihat dia sama lelahnya denganku, namun masih
tetap memberikan sebuah senyum. Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku
melepaskan pedang yang melekat ditanganku.
“Kamu
melakukan tugas dengan sangat baik, Eleazar anak Dodo….”
“Sebuah
kehormatan bagiku untuk bertempur bersama engkau, ya Rajaku….” Jawabku lemah
sebelum semuanya menjadi gelap….
*
Ini kubuat untuk lomba cerpen di gereja, tapi sayang, tadi pengumuman dan aku kalah... orz.... Daripada terbuang percuma hahahah~ aku posting di sini :) hope you enjoy it!
Gbu~
0 comments:
Posting Komentar