Rabu, 26 Februari 2014

[Short Story] The Wisdom I Ask....


Dia berjalan menyusuri lorong-lorong istana. Tiang-tiang yang menjulang tinggi memberi kesan angker pada dirinya yang masih kecil. Digenggamnya tangan sang ayah dengan erat.

"Ayah, kita akan kemana?" Tanya anak kecil itu dengan takut.

Sang ayah menoleh, seorang pria dengan jenggot tebal menutupi dagu dan pipinya. Matanya menatap penuh kasih sayang pada putra yang sangat dicintainya. Sebuah mahkota emas dengan permata-permata indah terpasang di atas sebuah rambut ikal coklat.

"Kita akan menemui rakyat, anakku." Jawab Sang Ayah seraya tersenyum.

Terdengar pintu terbuka dan sebuah sinar menyeruak masuk. Anak kecil itu menutup matanya karena silau. Ketika perlahan-lahan matanya terbiasa, dia melihat jutaan rakyat berdiri bawah balkon istana dengan sorakan penuh kekaguman dan rasa cinta pada sang Raja.

"Anakku, suatu ketika kamu yang akan memimpin mereka...." Ucapan Sang Ayah menggema kuat diantara gempita sorak sorai.

*

Seorang pemuda berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Raja. Rambutnya yang coklat kusut karena sudah berkali-kali diacak oleh tangannya sendiri. Wajahnya menunjukkan raut khawatir. Berkali-kali dia menoleh ke arah pintu berharap bahwa pintu tersebut terbuka. 

Beberapa menit kemudian harapannya terkabul. Pintu ganda berukiran emas tersebut membuka, seorang tabib tua keluar dengan raut wajah sedih.

"Yang Mulia, Ayah anda ingin berbicara dengan anda." Ucap Sang Tabib seraya menunduk memberi hormat.

Pemuda tersebut hanya mengangguk singkat membalas penghormatan tersebut. Dia langsung melangkah dengan langkah lebar memasuki kamar. Begitu ia tiba di dalam, dia terdiam sejenak. Hatinya tiba-tiba digelauti rasa sedih yang amat sangat. Dia berjalan perlahan menuju tempat tidur mewah berkelambu ungu. Di atas tempat tidur, terbaring ayahnya. Seorang yang dulu begitu gagah kini tak berdaya. Dia masih ingat betapa tampan ayahnya dulu, dengan rambut kecoklatan dan jubah kebesaran dengan sulaman emas, seorang Raja yang berwibawa, membawa kemenangan kemanapun pasukannya berperang. Dilihatnya rambut ayahnya yang sudah berubah warna menjadi keperakan, garis-garis usia mengaburkan sisa-sisa kemudaan.

"Anakku...." Ucap pria tua itu lirih.

Sang pemuda duduk di samping ranjang, mendekatkan dirinya agar dapat mendengar suara parau yang lemah. Para pelayan bergerak mundur, memberi ruang pada ayah dan anak tersebut.

"Aku sini akan menempuh jalan segala yang fana, maka kuatkanlah hatimu dan berlakulah seperti laki-laki." Sang Raja tua itu berhenti sejenak, mengambil napas. "Lakukanlah kewajibanmu dengan setia terhadap TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya, dan dengan tetap mengikuti segala ketetapan, perintah, peraturan dan ketentuan-Nya...."

Raja tua itu kembali berhenti. Dia terengah-engah, napasnya pendek dan sering.

"Ayah...." Balas sang Anak dengan memohon. "Anakmu ini masih muda.... Aku...belum siap memimpin kerajaan sebesar ini sendirian...."

Dengan tangan gemetar dan dengan seluruh sisa kekuatannya, Sang Raja tua mengangkat tangannya. Sang anak langsung menggenggam tangan yang ringkih tersebut.

"Jangan bersandar pada kekuatanmu, nak...." Ucap orang tua itu dengan lirih. "Ingatlah akan Tuhan, Allahmu...."

Raja itu tersenyum lemah, perlahan matanya tertutup dan dengan sebuah kedamaian, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Kehidupan meninggalkan tubuh tua itu.

"AYAAAAH!!!"

*

Pemuda tersebut terduduk di kamarnya yang terasa asing.... Pemakaman ayahnya sudah berlalu lama. Para peratap sudah kembali ke rumah mereka masing-masing tapi dia tetap saja tidak bisa menikmati jabatannya sebagai raja. Hatinya gentar memikirkan tanggung jawab yang tiba-tiba jatuh di pundaknya. Dia bukan memimpin sembarang rakyat, mereka bukan miliknya yang bisa dia perintah sesuka hati. Mereka adalah milik kepunyaan Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Allah pencipta semesta. Dia tak lebih dari wakilNya untuk membawa mereka menaati semua perintahNya. Betapa ayahnya senantiasa mengingatkannya ketika beliau masih hidup.

Lampu dian menyala redup tak sanggup menerangi seluruh kamar tapi anak muda itu tidak berniat untuk menambah jumlah cahaya. Dia menyukai kegelapan yang membungkusnya sementara dia memanjatkan doanya lamat-lamat. Kini dia hanya bisa sepenuhnya bergantung kepada Sang Pemberi Amanat. Pemuda itu terus berdoa dan berdoa, berbisik pelan pada Tuhan yang selama ini dia kenal sampai dia berada di ambang kesadarannya....

"Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu."

Sebuah suara menggema pelan. Suara yang berwibawa namun juga lembut. Dia langsung terjaga tapi bahkan ketika dia membuka mata, dia tidak bisa melihat apapun. Sebuah cahaya yang menyilaukan membuat sekelilingnya putih. Pemuda tersebut langsung tersungkur ke tanah. Dia tahu siapa yang berbicara....

Hatinya bergejolak. Allah menjawab doanya! Kini Sang Pencipta bertanya apa yang diinginkan olehnya....

Dia terdiam. Apa yang bisa membantunya memimpin bangsanya? 

Dia tetap berlutut. Ketika dia mengucapkan permintaannya, hatinya bergetar dengan perasaan tak berdaya. Dia tidak sanggup memerintah sendirian...tanpa bantuan dari Sang Raja Agung....

"Demikianlah hamba-Mu ini berada di tengah-tengah umat-Mu yang Kaupilih, suatu umat yang besar, yang tidak terhitung dan tidak terkira banyaknya. Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?"

Pemuda itu mengucapkan permintaannya dengan suara yang lirih. Siapa dia hingga sanggup mengangkat suaranya pada Allah Semesta....

Sunyi sesaat.... Jantung pemuda berdegup kencang. Apakah Allah mendengarkan permintannya?

"Oleh karena engkau telah meminta hal yang demikian dan tidak meminta umur panjang atau kekayaan atau nyawa musuhmu," suara itu kembali bergema, "melainkan pengertian untuk memutuskan hukum,maka sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit seorangpun seperti engkau. Dan juga apa yang tidak kauminta Aku berikan kepadamu, baik kekayaan maupun kemuliaan, sehingga sepanjang umurmu takkan ada seorangpun seperti engkau di antara raja-raja."

.......

....

Perlahan-lahan, sinar itu menghilang. Pemuda itu mulai berani membuka matanya dan dia sudah berada di kamarnya. Matahari mengintip dibalik celah bukit. Dia bertanya-tanya apakah hal yang barusan dia alami itu nyata....

Dia berdiri dan berjalan menuju jendela, sejauh mata memandang, itulah seluruh wilayah kekuasaannya. Padang rumput, gunung dan bukit yang menjulang, tanah perjanjian....

Hari ini, ketika dia memandang semua itu, ada yang berbeda dalam hatinya. Damai sejahtera turun bagaikan embun dari gunung Hermon menyegarkan benaknya. Dia tahu dia akan sanggup melakukan tugasnya dengan baik. Bukan karena dirinya tapi karena Allah yang disembahnya....

Untuk pertama kalinya sejah ayahnya meninggal, raja muda itu tersenyum....

__________________________________________________________

Aloha! Happy Valentine! Better late than never right :D hahahha~

Akhirnya cerita ini keluar dari draftnya hahahah~ Sempat ingin berhenti dan kubiarkan menjadi draft selamanya tapi toh puji Tuhan bisa kelar heheheh~

Where God guides, He provides :)


Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Everything But Ordinary, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena